Merakit Persahabatan, Meraba Keilmuan
Aku tak pernah
membayangkan bahwa pertemanan bisa lahir dari layar. Bahwa suara-suara asing
dikotak zoom bisa perlahan menjelma menjadi ruang hangat yang menyelamatkan. Tapi
pandemi mengajari kami bahwa manusia bisa saling memahami lewat jeda suara, lewat
tawa yang tertunda, lewat nama-nama yang hanya terdengar tapi tak pernah disapa
didunia nyata.
Aku tak tahu
kapan pertama kali merasa dekat dengan mereka. Mungkin saat kami sama-sama
bingung menghadapi mata kuliah pengantar Teknik industri ataupun praktikum
Gambar Teknik atau saat kami saling menertawakan koneksi yang putus-putus, atau
ketika jam kuliah online berubah jadi tempat curhat tentang dosen killer, tugas
numpuk, dan dunia yang terasa asing.
Kawan-kawan dating
seperti taburan bintang dilangit gelap yang kecil, jauh, tapi cukup memberi
arah. Kampus kami Universitas Pasundan hanyalah nama dilembar virtual. Tidak ada
lorong fakultas, tidak ada kantin, tidak ada bangku dengan coretan aktivis. Yang
ada hanya layar, suara, dan kebingungan. Tapi dari sinilah aku mulai mengerti
satu hal yaitu pertemanan tak harus lahir dari kedekatan fisik. Ia bisa tumbuh
dari kejujuran yang sama tentang rasa bingung, takut gagal, dan keinginan untuk
bertahan meski hari-hari terasa seragam.
Memasuki Teknik
Industri awalnya seperti mendarat di negeri yang tidak memiliki peta. Kurikulumnya
terdengan logis. Tapi, tak butuh waktu lama untuk merasakan keganjilan, aku
sempat bertanya dalam hati “apakah benar aku dijurusan yang tepat?” aku mencintai
berpikir, aku ingin merancang perubahan. Tapi sekali kali aku merasa tenggelam
dalam angka dan sistem yang tidak menyisakan tempat untuk kegelisahan. Keilmuan
ini terlalu rapi, seolah dunia bisa diselesaikan dengan diagram dan simulasi. Padahal
hidup jauh lehih liar dari model matematika.
Namun dalam
kebingungan itu aku tidak sendiri. Teman teman satu Angkatan yaito 20 juga
merasakan hal yang sama. Kami sering saling bertanya “apa sebenarnya yang
sedang kita pelajari?” kami tertawa getir saat Menyusun laporan praktikum yang
bahkan dosennya tak sempat baca. Kami bahu membahu, bukan karena kami pandai,
tapi karena kami enggan menyerah.
Ironisnya, dari
absurditas itulah justru solidaritas tumbuh. Tak semua jadi teman dekat, tapi
semua punya peran dalam membentuk keberanian untuk melanjutkan. Dalam grup WA
yang kacau, dalam tugas kelompok yang nyaris tak selesai, dalam malam-malam
menjelang deadline itulah tempat kami membangun kepercayaan.
Dari sini aku
belajar jika taknik tidak soal akurasi. Ia juga tentang ketahanan. Tentang bagaimana
menghadapi sistem yang tidak ramah, lalu tetap mencoba mencari ruang untuk
berpikir dan tentang bagaimana ditengah tekanan tugas dan jadwal akademik,
persahabatan bisa menjadi satu satunya alasan untuk tetap hadir di kelas esok
hari.
Ada teman yang
akhirnya cuti. Ada yang pelan-pelan menghilang. Ada yang tetap bertahan, meski
kami tahu ia sedang berjuang bukan hanya dengan soal ujian, tapi dengan tekanan
hidup yang tak pernah tuntas. Di balik nama-nama yang kadang tak muncul di
presensi, ada kisah yang tak sempat ditulis tentang pekerjaan malam, keluarga
yang sakit, atau depresi yang diam-diam membusuk.
Tapi begitulah
kami: generasi yang diajarkan efisiensi, tapi hidupnya kacau. Generasi yang
dibentuk oleh sistem yang tak selalu mengerti, tapi memilih saling jaga agar
tidak ambruk sendirian.
Maka ketika aku
menengok ke belakang, aku tidak hanya melihat nilai IPK atau lembar transkrip.
Aku melihat nama-nama yang pernah tertawa bersamaku, kalimat-kalimat absurd di
grup tugas, dan perasaan bahwa kami berhasil melewati sesuatu yang tak semua
orang mampu lalui.
Ilmu teknik yang
dulu terasa asing kini mulai punya makna. Bukan karena aku jadi jago statistik
atau simulasi, tapi karena aku mulai tahu jika teknik sejatinya tentang
merancang kehidupan. Dan kehidupan selalu penuh celah, tidak rapi, kadang
ambruk, tapi selalu bisa dibangun Kembali asal tidak sendirian.
Dan dari
keilmuan yang kaku serta dunia pertemanan yang digital, aku belajar dua hal
yaitu Bahwa berpikir itu penting. Tapi lebih penting lagi tidak kehilangan rasa
dan Bahwa efisiensi itu penting. Tapi lebih penting lagi tidak kehilangan
empati.
Hari ini,
mungkin kami masih belum mengerti seluruh rumus produksi. Tapi kami mengerti
bahwa manusia bukan sekadar komponen dalam sistem. Manusia adalah makhluk yang
saling menyelamatkan. Dan itu pelajaran paling mahal yang tidak tercantum dalam
silabus Teknik Industri.
Komentar
Posting Komentar